Hidup dan kehidupan di dunia ini senantiasa
berubah. Sebagaimana diajarkan dalam agama bahwa kehidupan di akherat kelak
adalah alam "kekal - abadi", sedangkan kehidupan dunia ini adalah
alam "fana-sementara" yang tidak terlepas dari perubahan. Pernyataan
diatas mengandung makna bahwa kehidupan di dunia bersifat relatif, tidak
langgeng dan selalu terjadi dinamika berujung perubahan. Kehidupan
bermasyarakat pun mengalami perubahan di lingkungannya seperti sistem ekonomi,
politik, sosial, budaya dan lainnya. Dalam konteks ini perubahan budaya pada
masyarakat merupakan hal lumrah dan logis. Budaya adalah aset bangsa yang
apabila dikelola secara baik akan bermanfaat bagi pembangunan karakter dan jati
diri bangsa.
Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yakni buddhayah, bentuk
jamak dari buddhi yang diartikan budi-akal atau biasa dikaitkan dengan akal
budi manusia, menghasilkan karya-karya. Sedangkan dalam bahasa Inggris budaya
dan kebudayaan disebut culture, asal kata latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan, diartikan juga sebagai bertani atau mengolah tanah.
Sementara kita sering menyebut kata kultur untuk menerjemahkan arti kata culture.tersebut.
Proses pembentukan budaya di suatu komunitas
masyarakat berlangsung dalam kurun waktu cukup lama. Di Jawa sebagai contoh,
terwujudnya masyarakat Islam tradisional yakni setelah mengalami proses
"persentuhan" dengan budaya lokal. Islam sebagai pendatang baru yang
membawa "sesuatu yang baru" mau tidak mau bersentuhan dengan budaya
setempat. Akibatnya, terjadilah proses "take and give" mengambil dan
memberi hingga terbentuklah Islam tradisional yang oleh Fazlur Rahman disebut
sebagai orang yang cenderung memahami syari'ah sebagaimana dipratekkan oleh
para ulama terdahulu. Berbagai referensi menyebutkan bahwa Islam tradisional
berbasis di pedesaan sehingga seringkali diungkapkan Islam tradisional adalah
Islam pedesaan, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak kaum
urban di perkotaan yang masih menerapkan budaya kaum muslim tradisonal di
pedesaan. Hal ini mengingat kaum urban itu dahulunya berasal dari pedesaan
juga.
Di Indonesia kaum tradisionalis sering di
identikkan dengan NU, sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar. Secara
hakekat arti kata tradisional sebenarnya merupakan perwujudan dari sifat-sifat
kaku dan tidak fleksibel terhadap perubahan di lingkungannya. Namun, kenyataan
yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Kacung Marijan (1992) menyebutkan
bahwa Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat
oportunis. Meskipun saat ini banyak kaum tradisionalis yang bersikap lebih
modern, akan tetapi warna konservatif masih melekat dalam kehidupan
sehari-harinya.
Peran dan
Peranan Pendidikan
Perubahan budaya pada masyarakat Islam tradisional di pedesaan senyatanya dapat
dipengaruhi oleh peran dan peranan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di
desa-desa baik formal maupun non formal sedikit banyak mempengaruhi budaya
masyarakat desa. Dalam konteks ini maka kebijakan pemerintah yang melibatkan
lembaga pendidikan keagamaan yang terdapat di desa-desa dalam menuntaskan wajib
belajar jenjang pendidikan dasar patut diapresiasi. Anak-anak desa yang
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di kota-kota besar bahkan di
luar negeri tatkala kembali ke kampung halaman juga memberikan sumbangan cukup
signifikan terhadap proses perubahan budaya setempat.
Sepanjang perubahan budaya masyarakat Islam
tradisional di pedesaan lebih dipengaruhi oleh dunia pendidikan, perubahan
budaya yang terjadi akan memiliki unsur kekuatan akal budi yang merupakan
faktor penting dari perubahan budaya dan kebudayaan. Hal ini disebabkan sistem
pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan terukur dalam
"memberdayakan" peserta didik.
Secara sociocultural pendidikan di pedesaan
telah lama berlangsung semenjak masuknya Islam di persada Nusantara, walau
kegiatan pendidikan masih sebatas "mengaji" memahami ajaran Islam.
Sejak lama masyarakat di pedesaan telah menumbuh-kembangkan pendidikan baik di
mesjid . surau maupun pesantren dengan cara bergotong royong, swadaya
masyarakat setempat. Tidak lama kemudian muncul lembaga pendidikan madrasah
yang mengajarkan juga ilmu-ilmu dasar dan umum disamping ilmu agama.
Kemandirian adalah ciri utama pemdidikan di
pedesaan. Hanya saja kegiatan pendidikan (Islam) di pedesaan kala itu terlanjur
diberikan stigma sebagai urusan akherat hingga mempengaruhi tumbuh kembang
disiplin ilmu umum di pedesaan. Jika kita merujuk referensi bahwa asal usul
sumber ilmu tidak terlepas dari sumbangan pemikiran dari hasil kajian
cendekiawan Muslim terdahulu, sebut saja seperti Ibu Sina yang di Barat dikenal
sebagai Avicenna, sebagai peletak ilmu kedokteran modern.
Di Indonesia, secara sociocultural politics,
skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses memisahkan
urusan dunia dan ukhrowi. Ini terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang
tumbuh di pelosok daerah. Kebijakan memecah belah ala penjajah ini efeknya
terasa hingga sekarang. Ilmu agama terpisah dari ilmu alam dan ilmu umum
lainnya. Seolah-olah matematika, fisika, sosiologi, geografi dan pelajaran
terkait lainnya tidak milik Islam dan bukan berasal dari sang Maha Pencipta.
Pengaruh
Teknologi Informasi Dan Komunikasi
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang diproduksi pihak industri tidak
dipungkiri mengutamakan unsur bisnis semata ketimbang membawa misi pencerahan
pendidikan. Tidak heran bila produsen TIK gencar dan getol memasarkan
produksinya sesuai dengan hasrat mereka mengejar keuntungan belaka. TIK yang
telah merambah ke pelosok desa turut andil terjadinya perubahan budaya. Sesuatu
yang patut dicermati oleh pemangku kepentingan kesejahteraan rakyat dalam
menekan ekses negatif dari beredarnya alat-alat canggih. Keberadaan internet,
televisi, ponsel, dan media elektronik lainnya yang dapat mengakses dan membawa
beragam informasi membuat khasanah budaya masyarakat pedesaan makin dinamis.
Perubahan budaya juga dapat timbul akibat
munculnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru dan kontak dengan kebudayaan
lain. Sebagai contoh berakhirnya kebiasaan surat menyurat berujung pada
ditemukannya perangkat lunak TIK yakni imel melalui internet dan sms (pesan
singkat) melalui ponsel dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lain.
Penemuan ini membuat budaya lama tergerus diganti dengan budaya baru. Fnomena
ini disebut sebagai penetrasi kebudayaan yakni masuknya pengaruh suatu
kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya.
Sharplin dalam Sonhaji (2003) mengungkapkan
bahwa tingkat homogenitas masyarakat yang dapat mempengaruhi perubahan budaya.
Pertama, jika suatu komunitas masyarakat besar dan kompleks, perubahan budaya
dalam komunitas itu semakin sulit dibandingkan komunitas kecil dan sederhana.
Kedua, perubahan budaya cenderung semakin sulit dalam masyarakat dengan
homogenitas budaya yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang
heterogen. Semakin banyak orang desa yang terdidik dan mengalami secara
positif akulturasi budaya dari luar menjadikan komunitas masyarakat tertentu
lebih heterogen. Jika tingkat heterogenitas cukup tinggi maka perubahan budaya
justeru dapat terjadi dengan mudah. Sudah barang tentu perubahan budaya yang
kita inginkan dalam masyarakat Islam tradisional di pedesaan adalah perubahan
kearah yang lebih baik dalam memperkuat jati diri dan karakter bangsa. Harapan
ini akan bisa terwujudnyatakan jikalau peran dan peranan pendidikan lebih
disebar-ratakan pada masyarakat Islam tradisional di pedesaan.
Pendidikan yang dimaksud dalam konteks ini tidak
selalu hanya terpaku pada pengembangan pendidikan formal tetapi juga dapat
melalui pendidikan non formal dan informal (keluarga). Pemerintah termasuk
jajarannya yakni aparat perangkat pedesaan senantriasa pro aktif turun ke
lapangan untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan dan mencanangkan
program-program pemerintah yang berorientasi pada penguatan karakter / jati
diri bangsa. Dengan demikian, diharapkan efek samping dan implikasi buruk yang
bisa terjadi akibat pengaruh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) tersebut dapat ditekan seminimal mungkin.
Penulis; Mahasiswa S3 UIN Maliki Malang (ARIES
MUSNANDAR)